Minggu, 26 Juli 2009

tinjauan pustaka

1. Pengertian Abortus
Menurut Wiknjosastro (2005), istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Abortus ditentukan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau kurang dari 20 minggu.
Sedangkan menurut Farrer (1999), abortus adalah penghentian atau berakhirnya suatu kehamilan sebelum janin viabel (dalam konteks ini, umur kehamilan 20 minggu). Diperkirakan antara 10 hingga 20% dari kehamilan berakhir dengan abortus spontan dan sebagian besar peristiwa ini terjadi dalam usia 12 minggu pertama.
Keguguran atau abortus adalah terhentinya proses kehamilan yang sedang berlangsung sebelum mencapai umur kehamilan 28 minggu atau berat janin sekitar 500 gram (Manuaba, 2007).
Abortus adalah penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup. Viabilitas janin dicapai pada sekitar minggu ke-22 sampai ke-24 dengan berat janin lebih dari 500 gram atau lingkar kepala lebih dari 18 cm, dimana janin sudah mampu hidup di lingkungan di luar rahim (Bobak, 2004).
Definisi abortus (aborsi, abortion) adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum janin mampu bertahan hidup. Di Amerika Serikat, definisi ini terbatas pada terminasi kehamilan sebelum 20 minggu didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir. Definisi lain yang sering digunakan adalah keluarnya janin-neonatus yang beratnya kurang dari 500 gram (Cunningham, 2005).
Menurut Henderson (2005), keguguran adalah istilah yang biasa digunakan untuk aborsi spontan, yaitu pegeluaran embrio atau janin prematur dari uterus sebelum usia gestasi 20-24 minggu. Sebagian besar (75%) aborsi spontan terjadi sebelum usia gestasi 16 minggu, 62 % terjadi sebelum usia 12 minggu. Dengan demikian, aborsi spontan (keguguran) dini dapat didefinisikan sebagai kehilangan kehamilan sampai usia 16 minggu dari awal periode menstruasi terakhir.
Berdasarkan pengertian-pengertian tentang abortus yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin mampu hidup di luar kandungan dengan usia kehamilan kurang dari 20 minggu.
2. Patofisiologi Abortus
Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis, kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga merupakan benda asing dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya.
Pada kehamilan kurang dari delapan minggu, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan seluruhnya karena villi koriales belum menembus desidua secara mendalam. Pada kehamilan antara 8-14 minggu villi koriales menembus desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna yang dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu ke atas umumnya yang dikeluarkan setelah ketuban pecah ialah janin, disusul beberapa waktu kemudian plasenta. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas dengan lengkap. Peristiwa abortus ini menyerupai persalinan dalam bentuk miniatur. Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada kalanya kantong amnion kosong atau tampak di dalamnya benda kecil tanpa bentuk yang jelas (blighted ovum), mungkin pula janin telah mati lama (missed abortion) (Wiknjosastro, 2005).
3. Diagnosis Abortus
Abortus harus diduga bila seorang wanita dalam masa reproduksi mengeluh tentang perdarahan per vaginam setelah mengalami haid terlambat, sering terdapat pula rasa mules. Kecurigaan abortus diperkuat dengan ditentukannya kehamilan muda pada pemeriksaan bimanual dan dengan tes kehamilan secara biologis (Galli Mainini) atau imunologik (Pregnosticon, Gravindex) bilamana hal itu dikerjakan. Harus diperhatikan macam dan banyaknya perdarahan, pembukaan serviks, dan adanya jaringan dalam kavum uteri atau vagina (Wiknjosastro, 2005).
4. Jenis abortus
Menurut Bobak (2004), ada tiga jenis abortus : abortus spontan, abortus terapeutik, abortus elektif.
a. Abortus spontan
Abortus spontan adalah abortus yang terjadi dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis ataupun medisinalis, tapi semata-mata disebabkan faktor-faktor alamiah. Aspek klinis abortus spontan dibagi menjadi lima sub kelompok (Cunningham, 2005) :
1) Abortus iminens
Diagnosis abortus iminens dipikirkan apabila terjadi perdarahan atau rabas (discarge) per vaginam pada paruh pertama kehamilan. Hal ini sering dijumpai, dan satu dari empat atau lima wanita mengalami bercak (spotting) atau perdarahan per vaginam yang lebih banyak pada awal gestasi.
Perdarahan pada abortus iminens umumnya sidikit, tetapi dapat menetap selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Peningkatan angka kematian perinatal dijumpai pada wanita yang kehamilannya mengalami penyulit abortus iminens di awal gestasi.
Penanganan : pasien dapat bertirah baring di rumah disertai pemberian analgesia untuk mengatasi nyeri. Apabila perdarahan menetap, ia perlu diperiksa kembali dan hematokritnya diperiksa. Apabila perdarahannya cukup besar sehingga terjadi anemia atau hipovolemia, umunya diindikasikan evakuasi kehamilan.
2) Abortus inevitable (tidak terhindarkan)/insipien
Abortus yang tidak terhindarkan ditandai oleh pecah ketuban yang nyata disertai pembukaan serviks. Pada kadaan ini, abortus hampir pasti terjadi. Biasanya segera terjadi kontraksi uterus yang mengakibatkan ekspulsi konseptus atau terjadi infeksi.
Apabila pada kehamilan dini terjadi pengeluaran cairan mendadak sebelum timbul nyeri atau perdarahan, wanita yang bersangkutan dirawat tirah baring dan diamati untuk melihat kebocoran cairan lebih lanjut, perdarahan, nyeri kram, atau demam. Apabila setelah 48 jam tidak terjadi lagi pengeluaran cairan amnion, tidak timbul nyeri atau perdarahan, dan demam, ia dapat bangun dan melanjutkan aktivitas sehari-hari kecuali segala bentuk penetrasi vagina. Namun, apabila pengeluaran banyak cairan disertai atau diikuti oleh perdarahan dan nyeri, atau apabila timbul demam, abortus harus dianggap tidak dapat dihindari dan uterus dikosongkan.
3) Abortus inkomplet
Pada abortus yang terjadi sebelum usia gestasi 10 minggu, janin dan plasenta biasanya keluar bersama-sama, tetapi setelah waktu itu keluar secara terpisah. Apabila plasenta seluruhnya atau sebagian tertahan di uterus, cepat atau lambat akan terjadi perdarahan yang merupakan tanda utama abortus inkomplet.
Pada banyak kasus, jaringan plasenta yang tertinggal sekedar menempel di kanalis servikalis dan dapat dikeluarkan dari os eksterna yang terpapar dengan forceps cincin atau ovum. Wanita dengan tahap kehamilan lebih lanjut, atau yang mengalami perdarahan besar harus dirawat inap dan jaringan yang tertinggal segera dikeluarkan.
4) Missed abortion
Missed abortion didefinisikan sebagai retensi produk konsepsi yang telah meninggal in utero selama beberapa minggu. Menurut Wiknjosastro (2005), missed abortion ialah kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi janin mati itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih.
Missed abortion biasanya didahului oleh tanda-tanda abortus iminens yang kemudian menghilang secara spontan atau setelah pengobatan. Gejala subyektif kehamilan menghilang, uterus tidak membesar lagi malah mengecil, tes kehamilan menjadi negatif. Kadang-kadang disertai gangguan pembekuan darah karena hipofibrinogemia.
Pengeluaran hasil konsepsi pada uterus yang besarnya tidak melebihi 12 minggu, sebaiknya dilakukan pembukaan serviks uteri dengan memasukkan laminaria selama kira-kira 12 jam dalam kanalis servikalis. Jika besar uterus melebihi 12 minggu, maka pengeluaran hasil konsepsi diusahakan dengan infus intravena oksitosin dosis cukup tinggi. Dosis oksitosin dapat dimulai dengan 20 tetes per menit dari cairan glukose 5% dengan 10 satuan oksitosin.
5) Abortus rekuren/habitualis
Keadaan ini didefinisikan menurut berbagai kriteria jumlah dan urutan, tetapi definisi yang mungkin paling luas diterima adalah abortus spontan berturut-turut selama tiga kali atau lebih. Warburton dan Fraser (1964) melaporkan bahwa kemungkinan abortus rekuren adalah 25 sampai 30% berapapun jumlah abortus sebelumnya (Cunningham, 2005).
Penanganan abortus rekuren terdiri atas : memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga. Terapi dengan hormon progesteron, vitamin, hormon tiroid, dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis karena penderita mendapat kesan bahwa ia diobati (Wiknjosastro, 2005).
b. Abortus terapeutik
Abortus terapeutik merupakan kehamilan yang sengaja dihentikan karena alasan medis.


c. Abortus elektif
Abortus elektif merupakan abortus yang dilakukan karena alasan pribadi.
5. Faktor penyebab abortus
Penyebab abortus sebagian besar tidak diketahui secara pasti, tetapi terdapat beberapa faktor sebagai berikut :
a. Kelainan pertumbuhan konsepsi
Menurut Wiknjosastro (2005), gangguan pertumbuhan hasil konsepsi dapat terjadi karena :
1) Kelainan kromosom
2) Lingkungan kurang sempurna
Bila lingkungan di endometrium di sekitar tempat implantasi kurang sempurna sehingga pemberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi terganggu
3) Pengaruh dari luar
Radiasi, virus, obat-obat, dan sebagainya dapat mempengaruhi baik hasil konsepsi maupun lingkungan hidupnya dalam uterus.
b. Kelainan pada plasenta
Endarteritis dapat terjadi dalam villi koriales dan menyebabkan oksigenasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian janin. Keadaan ini bisa terjadi sejak kehamilan muda, misalnya karena hipertensi menahun.
c. Penyakit ibu
Menurut Chalik (1999), berbagai penyakit apabila terjadi pada wanita hamil dapat menyebabkan keguguran diantaranya adalah :
1) Infeksi kronis (TORCH)
a) Infeksi Toxoplasma Gondii
Penyakit toxoplasmosis bukan disebabkan virus tetapi disebabkan oleh sejenis parasit toxoplasma gondii. Bila penyakit ini mengjangkiti seorang wanita hamil, maka pada janin dalam kandungannya juga akan beresiko terinfeksi dan menimbulkan berbagai kecacatan fisik pada anak setelah dilahirkan. Infeksi toxoplasma gondii menyebabkan abortus spontan sebesar 4%, lahir mati sebesar 3%, toxoplasmosis bawaan 20% (Haksohusodo, 2002).
b) Infeksi Virus Rubella
Infeksi rubella merupakan penyakit infeksi ringan pada anak dan dewasa muda, tetapi memberi nuansa istimewa seandainya infeksinya mengenai ibu hamil, dimana virus dapat menembus barier plasenta dan langsung patogenik terhadap janin yang dikandung. Infeksi rubella dapat menyebabkan abortus spontan, lahir mati, malformasi janin, kelainan bayi, sindrom rubella pada anak di kemudian hari (Haksohusodo, 2002).

c) Infeksi Cytomegalo Virus
Infeksi CMV pada wanita hamil dapat memberikan dampak : lahir prematur, berat badan rendah, memperlihatkan gejala-gejala kuning, mikrosefali, perkapuran pada otak, pembesaran hati dan limfa, kerusakan pada mata dan telinga, keterbelakangan mental, gangguan pembentukan darah (Haksohusodo, 2002).
d) Infeksi Virus Herpes Simplex
Herpes simplex/herpes genetalis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh HSV2 di mukosa alat kelamin dan sebagian kecil HSV1 di mukosa mulut. Wanita hamil yang terinfeksi HSV2 harus ditangani secara serius, karena virus dapat menembus plasenta dan menimbulkan kerusakan neonatal, dampak-dampak kongenital, dan abortus spontan (Haksohusodo, 2002).
Untuk menegakkan diagnosis infeksi TORCH, dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1 Pemilihan diagnostik laboratorium pada infeksi TORCH
Pilihan I Pilihan II
Toxoplasma Demonstrasi titer Ab. IgM/IgG terhadap toxoplasma gondii Demonstrasi titer Ab. IgM / IgG anti toxoplasma gondii tanpa pengamatan gejala, pengamatan IgM-IgG aviditas



Rubella

Isolasi virus rubella dan urin, usapan tenggorok, darah, atau demonstrasi IgM anti-Rubella

Demonstrasi titer Ab. Anti-Rubella (I&II)
Pengamatan IgM spesifik kalau perlu IgG spesifik tanpa melihat dampak gejala

Cytomegalo virus (CMV) Isolasi CMV dari urin, usapan tenggorok, darah. Cara biakan jaringan FAT. Pewarnaan secara FAG pada sel-sel urin Demonstrasi titer Ab. Anti CMV a.l : pelacakan Ab. IgM spesifik anti CMV, kalau perlu IgG spesifik anti CMV dan aviditasnya

Herpes Simplex virus Amati dan bedakan gejala klinis HSV1, HSV2 atau sindroma neurologik pada anak baru lahir sampai balita, kalau perlu sampai remaja Demonstrasi titer Ab. Anti HSV dengan memperhatikan AB IgM spesifik anti-HSV secara test Elisa.
Pemeriksaan titer Ab IgG anti-HSV secara Phassay-HSV telah cukup bermakna untuk pegangan para klinisi


2) Penyakit Infeksi Akut
a) Malaria
Terdapat empat spesies plasmodium yang menyebabkan malaria pada manusia, yaitu vivax, ovale, malariae, dan falsiparum. Organisme ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Serangan-serangan malaria secara bermakna meningkat tiga sampai empat kali lipat pada dua trimester terakhir kehamilan dan dua bulan pascapartum. Insiden abortus dan kelahiran preterm meningkat pada wanita hamil yang mengalami malaria (Cunningham, 2005).
b) Pneumonia
Pneumonia dalam kehamilan merupakan penyebab kematian non obstetrik yang terbesar setelah penyakit jantung. Oleh karena itu, pneumonia harus segera diketahui dalam kehamilan, segera dirawat, dan diobati secara intensif untuk mencegah timbulnya kematian janin/ibu, terjadinya abortus, persalinan prematur, atau kematian dalam kandungan (Wiknjosastro, 2005).
c) Demam tifoid
Disebabkan oleh Salmonella typhi yang disebarkan melalui ingesti oral makanan, air, atau susu yang tercemar. Pada wanita hamil, penyakit lebih mungkin dijumpai selama epidemi atau pada mereka yang terinfeksi HIV. Dari kajian Dildy dkk (1990), dilaporkan bahwa demam tifoid antepartum dahulu menyebabkan abortus atau persalinan preterm pada hampir 80% kasus, dengan angka kematian janin 60% dan angka kematian ibu 25% (Cunningham, 2005).



3) Penyakit kronis
a) Hipertensi esensial
Wanita hamil dengan hipertensi esensial biasanya hanya menunjukkan gejala hipertensi tanpa gejala-gejala lain. Prognosis ibu dengan hipertensi esensial berat dan kehamilan kurang baik. Angka kematian pada hipertensi esensial berkisar antara 1% dan 2%, kematian biasanya disebabkan perdarahan otak, dekompensasio kordis, atau uremia. Kurang baiknya prognosis bagi janin disebabkan oleh sirkulasi utero-plasenter yang kurang baik pada hipertensi berat. Janin bertumbuh kurang wajar (dismaturitas), lahir prematur, atau mati dalam kandungan (Wiknjosastro, 2005).
b) Diabetes Militus
Komplikasi ibu dan bayi pada penderita diabetes akan meningkat karena perubahan metabolik. Diperkirakan kejadian diabetes dalam kehamilan ialah 0,7% tetapi seringkali sukar ditemukan karena rendahnya kemampuan deteksi kasus (Wiknjosastro, 2005).
Abortus spontan dan malformasi kongenital mayor meningkat pada wanita dengan diabetes dependen-insulin. Resiko ini berkaitan dengan derajat kontrol metabolik pada trimester pertama (Cunningham, 2005).
c) Asma
Asma bronkiale merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan yang sering dijumpai dalam kehamilan dan persalinan. Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari sering dan beratnya serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen atau hipoksia. Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada janin, dan sering terjadi keguguran, persalinan prematur, atau berat janin tidak sesuai dengan usia kehamilan (Wiknjosastro, 2005).
d. Kelainan pada rahim
Retroversio uteri, mioma uteri, atau kelainan bawaan uterus dapat menyebabkan abortus. Tetapi harus diingat bahwa hanya retroversio uteri gravidi inkarserata atau mioma submukosa yang memegang peranan penting. Sebab lain abortus dalam trimester kedua ialah serviks inkompeten yang dapat disebabkan oleh kelemahan bawaan pada serviks, dilatasi serviks berlebihan, konisasi, amputasi, atau robekan serviks luas yang tidak dijahit (Wiknjosastro, 2005).
6. Faktor Predisposisi Abortus
Faktor predisposisi abortus diantaranya :
a. Usia ibu yang lanjut
Menurut Cunningham (2005), risiko abortus spontan meningkat seiring dengan paritas serta usia ibu. Frekuensi abortus yang secara klinis terdeteksi meningkat dari 12 % pada wanita berusia kurang dari 20 tahun menjadi 26 % pada mereka yang usianya lebih dari 40 tahun.
Ibu yang telah mengalami abortus pada trimester I banyak terdapat pada ibu yang lebih muda yaitu umur 18 tahun, lebih rendah kejadiannya pada wanita usia 20 – 35 tahun, dan berkembang meningkat tajam pada setelah usia 35 tahun. Stein dan Coauthors dalam penelitiannya menemukan bahwa abortus spontan akan tetap terjadi pada umur pertengahan 30 tahun (Darmayanti, 2009).
b. Riwayat obstetri / ginekologi yang kurang baik
Hal ini khususnya pada riwayat abortus yang dialami ibu. Wanita hamil yang mengalami keguguran 1 atau 2 kali, akan mengalami keguguran pada kehamilan berikutnya dan akan berulang kembali pada kehamilan yang selanjutnya. Bahkan wanita yang sebelumnya terjadi abortus memiliki resiko sebesar 11,5 % pada kehamilan berikutnya dan menjadi 29,4 % pada kehamilan yang selanjutnya (Darmayanti, 2009).
c. Adanya kelainan / penyakit yang menyertai kehamilan
Beberapa penyakit ibu yang dapat mempengaruhi terjadinya abortus telah diuraikan dalam sub sub bab faktor penyebab abortus.


d. Paparan dengan berbagai macam zat kimia (rokok, obat-obatan, alkohol, radiasi, dsb)
Radiasi, virus, obat-obatan, dan sebagainya dapat mempengaruhi baik hasil konsepsi maupun lingkungan hidupnya dalam uterus, pengaruh ini umumnya dinamakan pengaruh teratogen (Wiknjosastro, 2005).
e. Trauma abdomen / pelvis pada trimester pertama
Trauma yang tidak menyebabkan terhentinya kehamilan sering dilupakan. Yang diingat hanya kejadian tertentu yang tampaknya mengakibatkan abortus. Namun, sebagian besar abortus spontan terjadi beberapa waktu setelah kematian mudigah atau janin (Cunningham, 2005).
f. Paritas ibu
Paritas adalah keadaan kelahiran atau persalinan bayi yang mampu hidup di luar kandungan (lebih dari 28 minggu) (Pusdiknakes, 2003).
Paritas dibedakan menjadi 4 (Mochtar, 1998) :
1. NulĂ­para yaitu ibu yang belum pernah melahirkan
2. Primipara yaitu ibu yang pernah melahirkan untuk pertama kali
3. Multipara adalah ibu yang pernah melahirkan beberapa kali (sampai 5 kali)
4. Grandemultipara adalah ibu yang pernah melahirkan 6 kali atau lebih.

Menurut hasil pengamatan, wanita primigravida akan mengalami gugurnya kehamilan sebesar 5,6 % dan wanita yang telah memiliki anak akan terjadi abortus sebesar 2,2 % pada kehamilan berikutnya (Darmayanti, 2009).
g. Pekerjaan ibu
Wanita hamil yang bekerja di lahan pertanian dan kerap terpajan pestisida secara langsung, ternyata berisiko lebih tinggi mengalami abortus spontan. Hasil studi yang dilakukan dr. Astrid W Sulistomo, MPH, Sp.Ok di sentra pertanian Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, selama kurun waktu April-November 2007 mendapati bahwa wanita yang bekerja di ladang bawang dengan frekuensi penyemprotan tertinggi (dua hari sekali) mengalami peningkatan risiko 79 persen dibandingkan ladang lain, seperti sayuran yang hanya disemprot sekali seminggu. Selain itu, kebiasaan suami merokok dan beban kerja wanita yang berat meningkatkan risiko terjadinya abortus. Menurut data BPS tahun 2007, diperkirakan 13 juta perempuan bekerja di sektor pertanian. Terkait pajanan pestisida, penelitian di Finlandia melaporkan pula bahwa wanita yang mengalami abortus spontan, 30 persen lebih besar kemungkinannya bahwa mereka bekerja di sektor pertanian (Sindo, 2008).



h. Kelainan kromosom (trisomi / monosomi)
20 of the 40 abortuses had a chromosomally abberant karyotype. 65% of parents aborting an embryo with with an increased proportion of chromosomally aberrant cells, had more than 10% aneuploid cells in their peripheral lymphocytes. However, only 12.5% of couples aborting an embryo with chromosomally normal cells had increased rates of aneuploidy (M. Daniely et all. 2001).

20 dari 40 kasus abortus terdapat kelainan kromosom kariotip. 65 % orang tua yang menggugurkan embrio dengan peningkatan jumlah kelainan sel kromosom, terdapat lebih dari 10 % sel aneuploidi di sekitar kelenjar limfe. Akan tetapi, hanya 12,5 % pasangan yang menggugurkan embrio dengan sel kromosom normal, tingkat aneuploidinya bertambah.
Trisomi autosom merupakan kelainan kromosom yang tersering dijumpai pada abortus trimester pertama.sedangkan monosomi x adalah kelainan kromosom tersering berikutnya dan memungkinkan lahirnya bayi perempuan hiup (sindrom Turner) (Cunningham, 2005).
7. Komplikasi abortus
Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah :
a. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya (Wiknjosastro, 2005).

b. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamati dengan teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi, dan tergantung dari luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi. Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih atau usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk menetukan luasnya cedera, untuk selanjutnya mengambil tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi (Wiknjosastro, 2005).
c. Infeksi
Infeksi pada abortus umumnya terbatas pada desidua. Pada abortus septikvirulensi bakteri tinggi, dan infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium, dan peritoneum. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti syok (Wiknjosastro, 2005).
d. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragi) dan karena infeksi berat (syok endoseptik) (Wiknjosastro, 2005).

Gambaran Karakteristik Ibu yang Mengalami Abortus di RSUD Pandan Arang Boyolali

A. LATAR BELAKANG
Angka kematian ibu (AKI) merupakan indikator untuk menilai keadaan pelayanan obstetri. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, menyatakan, AKI di Indonesia saat ini 228 per 100.000 kelahiran hidup (Andra, 2007). Ada 3 penyebab klasik kematian ibu yaitu perdarahan, pre-eklamsia, dan infeksi. Selain itu ada penyebab keempat, yaitu abortus. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 15-50% kematian ibu disebabkan oleh abortus. Komplikasi abortus berupa perdarahan atau infeksi dapat menyebabkan kematian. Itulah sebabnya mengapa kematian ibu yang disebabkan abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian, tapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis (Azhari, 2002).
Menurut data Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, 90% penyebab kematian ibu karena adanya komplikasi dan 28% diantaranya terjadi pendarahan dimasa kehamilan dan persalinan (Subargus, 2008).
Abortus merupakan berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum janin mampu bertahan hidup. Di Amerika Serikat, definisi ini terbatas pada terminasi kehamilan sebelum 20 minggu didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir. Definisi lain yang sering digunakan adalah keluarnya janin-neonatus yang beratnya kurang dari 500 gram (Cunningham, 2005).
Masalah abortus dikemukakan kaitannya dengan tingginya angka kematian ibu (AKI) melahirkan. Indonesia berada di peringkat tertinggi senegara-negara di Asia Tenggara (ASEAN). Sewaktu AKI di Indonesia mencapai 400 per 100.000 kelahiran hidup, di Singapura hanya enam, Bruney Darussalam nihil, Malaysia 39, Thailand 44, Filipina 170 (Supriyantho, 2007).
Menurut Kamila (2004), insiden terjadinya abortus semakin meningkat dari tahun ke tahun. Abortus 80% terjadi pada kehamilan trimester pertama dan insiden menurun sejalan dengan meningkatnya umur kehamilan. Abortus dapat disebabkan oleh karena anomali embrio, kelainan kromosom, usia, anomali uterus, penyakit ibu, gangguan pada plasenta, infeksi TORCH, dan lain-lain.
Lebih dari 80% abortus terjadi pada 12 minggu pertama dan setelah itu angka ini cepat menurun. Resiko abortus spontan meningkat seiring dengan paritas serta usia ibu. Frekuensi abortus yang secara klinis terdeteksi meningkat dari 12% pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun menjadi 26% pada mereka yang usianya lebih dari 40 tahun. Insidensi abortus meningkat apabila wanita yang bersangkutan hamil dalam 3 bulan setelah melahirkan bayi aterm (Cunningham, 2005).
RSUD Pandan Arang Boyolali merupakan rumah sakit umum daerah di Kabupaten Boyolali yang menjadi tempat rujukan di daerah Boyolali. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis di bagian rekam medik RSUD Pandan Arang Boyolali, kejadian abortus di RSUD Pandan Arang pada tahun 2007 mencapai 103 kasus, yaitu abortus iminens 49 kasus dan abortus inkomplet 54 kasus. Sedangkan di tahun 2008, kejadian abortus mencapai 169 kasus, yaitu abortus iminens 47 kasus, abortus inkomplet 95 kasus, abortus inkomplet dengan perdarahan 23 kasus, dan abortus komplet 4 kasus.
Dengan meningkatnya kejadian abortus di RSUD Pandan Arang Boyolali selama tahun 2007-2008, penulis tertarik untuk meneliti gambaran karakteristik ibu yang mengalami abortus di RSUD Pandan Arang Boyolali selama tahun 2007-2008.