Minggu, 26 Juli 2009

Gambaran Karakteristik Ibu yang Mengalami Abortus di RSUD Pandan Arang Boyolali

A. LATAR BELAKANG
Angka kematian ibu (AKI) merupakan indikator untuk menilai keadaan pelayanan obstetri. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, menyatakan, AKI di Indonesia saat ini 228 per 100.000 kelahiran hidup (Andra, 2007). Ada 3 penyebab klasik kematian ibu yaitu perdarahan, pre-eklamsia, dan infeksi. Selain itu ada penyebab keempat, yaitu abortus. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 15-50% kematian ibu disebabkan oleh abortus. Komplikasi abortus berupa perdarahan atau infeksi dapat menyebabkan kematian. Itulah sebabnya mengapa kematian ibu yang disebabkan abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian, tapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis (Azhari, 2002).
Menurut data Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, 90% penyebab kematian ibu karena adanya komplikasi dan 28% diantaranya terjadi pendarahan dimasa kehamilan dan persalinan (Subargus, 2008).
Abortus merupakan berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum janin mampu bertahan hidup. Di Amerika Serikat, definisi ini terbatas pada terminasi kehamilan sebelum 20 minggu didasarkan pada tanggal hari pertama haid normal terakhir. Definisi lain yang sering digunakan adalah keluarnya janin-neonatus yang beratnya kurang dari 500 gram (Cunningham, 2005).
Masalah abortus dikemukakan kaitannya dengan tingginya angka kematian ibu (AKI) melahirkan. Indonesia berada di peringkat tertinggi senegara-negara di Asia Tenggara (ASEAN). Sewaktu AKI di Indonesia mencapai 400 per 100.000 kelahiran hidup, di Singapura hanya enam, Bruney Darussalam nihil, Malaysia 39, Thailand 44, Filipina 170 (Supriyantho, 2007).
Menurut Kamila (2004), insiden terjadinya abortus semakin meningkat dari tahun ke tahun. Abortus 80% terjadi pada kehamilan trimester pertama dan insiden menurun sejalan dengan meningkatnya umur kehamilan. Abortus dapat disebabkan oleh karena anomali embrio, kelainan kromosom, usia, anomali uterus, penyakit ibu, gangguan pada plasenta, infeksi TORCH, dan lain-lain.
Lebih dari 80% abortus terjadi pada 12 minggu pertama dan setelah itu angka ini cepat menurun. Resiko abortus spontan meningkat seiring dengan paritas serta usia ibu. Frekuensi abortus yang secara klinis terdeteksi meningkat dari 12% pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun menjadi 26% pada mereka yang usianya lebih dari 40 tahun. Insidensi abortus meningkat apabila wanita yang bersangkutan hamil dalam 3 bulan setelah melahirkan bayi aterm (Cunningham, 2005).
RSUD Pandan Arang Boyolali merupakan rumah sakit umum daerah di Kabupaten Boyolali yang menjadi tempat rujukan di daerah Boyolali. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan penulis di bagian rekam medik RSUD Pandan Arang Boyolali, kejadian abortus di RSUD Pandan Arang pada tahun 2007 mencapai 103 kasus, yaitu abortus iminens 49 kasus dan abortus inkomplet 54 kasus. Sedangkan di tahun 2008, kejadian abortus mencapai 169 kasus, yaitu abortus iminens 47 kasus, abortus inkomplet 95 kasus, abortus inkomplet dengan perdarahan 23 kasus, dan abortus komplet 4 kasus.
Dengan meningkatnya kejadian abortus di RSUD Pandan Arang Boyolali selama tahun 2007-2008, penulis tertarik untuk meneliti gambaran karakteristik ibu yang mengalami abortus di RSUD Pandan Arang Boyolali selama tahun 2007-2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar